Tuesday, January 26, 2016

Naruto Fanfiction: Melengkapimu


Assalamu'alaikum fellas!

Yeah, setelah sekian lama tidak menulis fanfic, gua mencoba menulis lagi. Sebenernya ini dibikin beberapa bulan lalu sih, Mei kalo nggak salah. Jaman-jaman stres praktikum kimia organik. Hahaha.

Yaudah deh, baca aja sendiri ya! :)


Naruto (c) Masashi Kishimoto
.
.
Melengkapimu
.
.
happy reading!
.
.
                Malam terang bermahkotakan bulan purnama. Sunyi senyap merambat, sesekali terdengar gemerisik dedaunan yang tertiup angin sepoi, memanjakan tubuh-tubuh lelah manusia yang seharian menjalani rutinitasnya. Bintang bertaburan menemani sang dara malam.
                Di sebuah rumah yang gelap, di situlah sebuah keluarga kecil terlelap. Jatuh ke dalam gelombang delta yang menenangkan. Mengisi kembali energi untuk esok hari. Tetapi tidak begitu dengan seorang wanita berambut pirang sebahu. Sesekali memejamkan manik hijaunya untuk terbuka kembali. Nampaknya ia tak bisa tidur seperti yang dua orang di sampingnya lakukan.
                Wanita itu akhirnya bangun. Beranjak dari futon menuju teras rumah. Memandang satelit bumi indah itu dengan tatapan tak terdefinisikan. Angin menggoyangkan lembut helaian emasnya. Memejamkan mata, menikmati sentuhan alam yang merupakan elemen kekuatannya saat menjadi kunoichi dulu, berharap dapat menenangkan hatinya yang entah mengapa kalut tak menentu, membawanya jatuh dalam mimpi indah. Tetapi hanya terjadi beberapa saat, karena manik itu lebih memilih menatap bulan. Kedua lengannya memeluk kedua lututnya, hela napas terdengar dari bibir ranumnya. Melepas ganjalan yang terasa memberatkan dada.
                “Kau belum tidur?” sebuah suara mengusik pendengarannya. Ia menoleh, lalu menggelengkan kepalanya pelan. Melanjutkan kembali kegiatannya yang terhenti sejenak. Pria itu bangun dari tidurnya, menyusul istrinya dan duduk di sebelahnya, menemaninya.
                “Kenapa? Sedang ada masalah?” tanya Shikamaru.
                “Tidak,” jawab Temari sendu. Shikamaru mengerutkan dahinya.
                “Ceritakan saja. Memang merepotkan karena mengganggu waktu tidurku, tetapi akan lebih merepotkan lagi kalau kau tidak tidur semalaman hanya karena memikirkan sesuatu yang mengganggumu.”
                Temari mendelik pada suaminya. “Kalau tak mau dengar, tidur saja sana. Nanti juga aku tidur, kok.”
                “Haaah, begitu saja cemberut. Dasar istriku yang merepotkan,” goda Shikamaru sambil mencubit pipi tembem istrinya. Temari memukul lengannya pelan.
                “Aw, sakit Shika! Iya iya aku cerita!” ucap Temari gusar. Shikamaru tersenyum, siap mendengarkan. Temari menghela napas lagi.
                “Aku… entah kenapa  rasanya masih tak percaya atas semua ini. Rasanya baru kemarin saja terjadi perang, sampai-sampai untuk memejamkan mata sedetikpun aku takut. Aku takut, kalau aku lengah, orang-orang itu akan membunuhku, membunuhmu, Gaara, Kankurou, dan semuanya,” wanita Suna itu memeluk lututnya erat, mencoba mengatasi gemetar yang merayapi tubuhnya. Shikamaru merangkul Temari, menenangkannya.
                Masih membekas di ingatannya bagaimana mencekam dan mengerikannya suasana dunia pada saat itu. Saat di mana dunia di ambang kehancuran, semua ninja dari berbagai desa bersatu padu melawan orang terkuat, Madara Uchiha, yang telah dibangkitkan Kabuto. Tak hanya itu, emosi semua orang benar-benar diporak-porandakan, harus menghadapi lawan yang semasa hidupnya adalah orang yang berharga untuk mereka, yang kini berada di pihak musuh. Di satu sisi senang dapat bertemu lagi, namun di satu sisi mereka harus menghancurkannya, dan di sisi lain mereka merasa tak sanggup untuk melukainya. Masih segar di benaknya ketika ia melihat ayahnya, Yondaime Kazekage, dibangkitkan untuk menghancurkan pasukan yang Gaara pimpin. Tak tahu harus menunjukkan ekspresi apa, entah senang, takut, atau marah, Temari tak tahu. Apalagi Gaara, Temari mengkhawatirkan adiknya yang satu itu, yang lebih banyak menerima perlakuan kejam dari ayahnya semasa hidupnya. Untunglah ia berhasil menyegel ayahnya dengan pasir piramidanya. Mengungkap perasaan sebenarnya sang ayah yang menyayangi semua anaknya.
                “Bukannya aku tidak takut kematian, tetapi aku lebih takut pada kematian yang merenggut nyawa orang-orang yang berharga untukku. Aku tak bisa membayangkan apa jadinya Suna tanpa Gaara dan Kankurou, apa jadinya Naruto yang menjadi Hokage tanpa penasihat sepertimu. Dan bila aku mati, aku tak tahu apakah Gaara dan Kankurou dapat mengurusi diri mereka dengan benar sepeninggalku, apakah kau akan tetap menjadi pemalas yang cengeng selamanya, atau apalah. Aku tak sanggup membayangkan itu semua, Shikamaru.” Air mata menetes di pipi Temari, menahan isak tangis yang ia takut akan membangunkan Shikadai. Shikamaru tersenyum tipis, merengkuh wanitanya ke dalam pelukannya.
                “Percayalah Temari, semua sudah selesai, tak akan ada lagi perang. Dunia sudah lelah dan muak menelan darah yang berjatuhan ke bumi,” ucap Shikamaru sambil membelai surai Temari. Temari menenggelamkan dirinya pada dada bidang Shikamaru, melepas semua ganjalan hatinya, memeluk erat seakan takut kehilangan orang yang sudah sah menjadi suaminya itu.
                “Aku juga pernah merasakan seperti itu. Aku kehilangan guru Asuma, aku kehilangan ayah, dan teman-teman lain di medan perang. Aku sakit, aku rapuh, aku merasa tak sanggup untuk melakukan apapun. Tetapi aku yakin, aku tak sendiri menghadapi semua itu. Aku masih memiliki orang-orang yang akan melengkapi aku, mengisi kekosongan di hatiku akibat kehilangan orang berharga. Aku juga berusaha bertahan hidup, untuk menyenangkan hati orang yang kuanggap berharga. Terutama kau, Temari.” Shikamaru mengecup sayang puncak kepala Temari, seakan memberitahu kalau ia sangat mencintainya. Temari melepas pelukannya. Tangan Shikamaru menghapus cairan bening di mata istrinya.
                “Mungkin kau sedang merindukan ayah dan ibumu, atau Gaara dan Kankurou. Kau ingin menemui mereka?” tanya Shikamaru. Temari kembali memandang bulan.
                “Mungkin, entahlah Shika. Aku hanya tidak ingin jauh dari orang-orang yang kusayang. Aku ingin memastikan mereka baik-baik saja saat aku tidak bersama mereka,” lirih Temari. Ia menyenderkan bahunya pada tubuh Shikamaru. Shikamaru memeluknya.
                “Kau ingin pulang ke Suna? Aku akan minta cuti pada Naruto untuk mengantarmu.”
                “Tak perlu, aku tak ingin merepotkanmu. Lagipula Shikadai belum memasuki masa liburan akademi, aku tak ingin ia ketinggalan pelajaran. Besok aku akan mengirim surat saja pada Gaara dan Kankurou,” Temari menyunggingkan senyum khasnya. Senyum yang selalu membuat pria klan Nara itu tercengang, tunduk pada pesonanya.
                “Jangan sedih lagi. Aku selalu di sini, di sisimu,” Temari merasakan tangannya digenggam suaminya. Ia menimpalinya dengan tangannya yang bebas, “Aku melengkapimu. Aku menemanimu di saat kapanpun kau butuh aku. Aku mengisi kekosongan yang ada dalam hatimu.”
                “Aku tahu, Shikamaru. Begitu juga aku.”
                Keduanya terdiam beberapa saat. Menikmati angin yang masih setia menemani dua insan yang saling mencintai ini. Merasakan hangatnya kasih sayang yang disalurkan melalui setiap sentuhan.
                “Hahaha. Jadi, siapa yang sebenarnya bocah cengeng? Sepertinya istriku sudah berhasil menggantikan posisiku dengan baik sekarang,” ledek Shikamaru. Temari memanyunkan bibirnya.
                “Tidak lucu, Shikamaru. Dan selamanya kau akan jadi bocah cengeng yang tidak suka hal merepotkan.” tukas Temari. Shikamaru mendengus. “Merepotkan.” Temari tertawa kecil.
                “Ya sudahlah, mari kita tidur Shika. Besok kau bisa kesiangan kalau tidak tidur malam ini.” Temari beranjak dari teras menuju futon, bersiap tidur. Suasana hatinya jauh lebih baik kali ini berkat suaminya.
                “Iya, iya, istri merepotkan.” Shikamaru bergumam pelan, menyusul langkah istrinya.
                Temari membaringkan tubuhnya di samping Shikadai, tetapi Shikamaru menyuruhnya untuk tidur di antara dirinya dan Shikadai. Temari tersenyum kecil.
                “Terima kasih untuk semuanya, Shikamaru,” bisiknya lembut sambil memeluk Shikamaru.
                Shikamaru mencium bibir istrinya dan membalas pelukannya erat sebagai jawaban.
                Akhirnya manik hijau yang indah itu tertutup, bersamaan dengan menghilangnya keresahan hatinya yang mengganggu jam tidurnya. Senyum damai nan bahagia terukir di wajahnya, begitu pula dengan pria yang memeluknya dalam tidurnya.
.
.
end
.
.

Gimaaans? Duh, sepertinya menurun, dan OOC juga *sejak kapan lu bikin fanfic karakternya IC dah?* oke okeee, gua harus kerja keras lagi selama liburan ini. Semangat lah! Kan udah balik lagi ke dunia lama, harus lebih ditekuni ya Tan~ *nyemangatin diri sendiri karena gaada yang nyemangatin* *sian amat si lu*

Nggeus lah, hayang sare. Bubye~

No comments:

Post a Comment