Assalamu'alaikum fellas!
Yeah, setelah sekian lama tidak menulis fanfic, gua mencoba menulis lagi. Sebenernya ini dibikin beberapa bulan lalu sih, Mei kalo nggak salah. Jaman-jaman stres praktikum kimia organik. Hahaha.
Yaudah deh, baca aja sendiri ya! :)
Naruto (c) Masashi Kishimoto
.
.
Melengkapimu
.
.
happy reading!
.
.
Malam terang
bermahkotakan bulan purnama. Sunyi senyap merambat, sesekali terdengar
gemerisik dedaunan yang tertiup angin sepoi, memanjakan tubuh-tubuh lelah
manusia yang seharian menjalani rutinitasnya. Bintang bertaburan menemani sang
dara malam.
Di sebuah rumah
yang gelap, di situlah sebuah keluarga kecil terlelap. Jatuh ke dalam gelombang
delta yang menenangkan. Mengisi kembali energi untuk esok hari. Tetapi tidak
begitu dengan seorang wanita berambut pirang sebahu. Sesekali memejamkan manik hijaunya
untuk terbuka kembali. Nampaknya ia tak bisa tidur seperti yang dua orang di
sampingnya lakukan.
Wanita itu akhirnya
bangun. Beranjak dari futon menuju
teras rumah. Memandang satelit bumi indah itu dengan tatapan tak
terdefinisikan. Angin menggoyangkan lembut helaian emasnya. Memejamkan mata,
menikmati sentuhan alam yang merupakan elemen kekuatannya saat menjadi kunoichi
dulu, berharap dapat menenangkan hatinya yang entah mengapa kalut tak menentu,
membawanya jatuh dalam mimpi indah. Tetapi hanya terjadi beberapa saat, karena
manik itu lebih memilih menatap bulan. Kedua lengannya memeluk kedua lututnya,
hela napas terdengar dari bibir ranumnya. Melepas ganjalan yang terasa
memberatkan dada.
“Kau belum tidur?”
sebuah suara mengusik pendengarannya. Ia menoleh, lalu menggelengkan kepalanya
pelan. Melanjutkan kembali kegiatannya yang terhenti sejenak. Pria itu bangun
dari tidurnya, menyusul istrinya dan duduk di sebelahnya, menemaninya.
“Kenapa? Sedang ada
masalah?” tanya Shikamaru.
“Tidak,” jawab
Temari sendu. Shikamaru mengerutkan dahinya.
“Ceritakan saja.
Memang merepotkan karena mengganggu waktu tidurku, tetapi akan lebih merepotkan
lagi kalau kau tidak tidur semalaman hanya karena memikirkan sesuatu yang
mengganggumu.”
Temari mendelik
pada suaminya. “Kalau tak mau dengar, tidur saja sana. Nanti juga aku tidur,
kok.”
“Haaah, begitu saja
cemberut. Dasar istriku yang merepotkan,” goda Shikamaru sambil mencubit pipi
tembem istrinya. Temari memukul lengannya pelan.
“Aw, sakit Shika!
Iya iya aku cerita!” ucap Temari gusar. Shikamaru tersenyum, siap mendengarkan.
Temari menghela napas lagi.
“Aku… entah
kenapa rasanya masih tak percaya atas
semua ini. Rasanya baru kemarin saja terjadi perang, sampai-sampai untuk
memejamkan mata sedetikpun aku takut. Aku takut, kalau aku lengah, orang-orang
itu akan membunuhku, membunuhmu, Gaara, Kankurou, dan semuanya,” wanita Suna
itu memeluk lututnya erat, mencoba mengatasi gemetar yang merayapi tubuhnya.
Shikamaru merangkul Temari, menenangkannya.
Masih membekas di
ingatannya bagaimana mencekam dan mengerikannya suasana dunia pada saat itu.
Saat di mana dunia di ambang kehancuran, semua ninja dari berbagai desa bersatu
padu melawan orang terkuat, Madara Uchiha, yang telah dibangkitkan Kabuto. Tak
hanya itu, emosi semua orang benar-benar diporak-porandakan, harus menghadapi
lawan yang semasa hidupnya adalah orang yang berharga untuk mereka, yang kini
berada di pihak musuh. Di satu sisi senang dapat bertemu lagi, namun di satu
sisi mereka harus menghancurkannya, dan di sisi lain mereka merasa tak sanggup
untuk melukainya. Masih segar di benaknya ketika ia melihat ayahnya, Yondaime
Kazekage, dibangkitkan untuk menghancurkan pasukan yang Gaara pimpin. Tak tahu
harus menunjukkan ekspresi apa, entah senang, takut, atau marah, Temari tak
tahu. Apalagi Gaara, Temari mengkhawatirkan adiknya yang satu itu, yang lebih
banyak menerima perlakuan kejam dari ayahnya semasa hidupnya. Untunglah ia
berhasil menyegel ayahnya dengan pasir piramidanya. Mengungkap perasaan
sebenarnya sang ayah yang menyayangi semua anaknya.
“Bukannya aku tidak
takut kematian, tetapi aku lebih takut pada kematian yang merenggut nyawa
orang-orang yang berharga untukku. Aku tak bisa membayangkan apa jadinya Suna
tanpa Gaara dan Kankurou, apa jadinya Naruto yang menjadi Hokage tanpa
penasihat sepertimu. Dan bila aku mati, aku tak tahu apakah Gaara dan Kankurou
dapat mengurusi diri mereka dengan benar sepeninggalku, apakah kau akan tetap
menjadi pemalas yang cengeng selamanya, atau apalah. Aku tak sanggup
membayangkan itu semua, Shikamaru.” Air mata menetes di pipi Temari, menahan
isak tangis yang ia takut akan membangunkan Shikadai. Shikamaru tersenyum tipis,
merengkuh wanitanya ke dalam pelukannya.
“Percayalah Temari,
semua sudah selesai, tak akan ada lagi perang. Dunia sudah lelah dan muak
menelan darah yang berjatuhan ke bumi,” ucap Shikamaru sambil membelai surai
Temari. Temari menenggelamkan dirinya pada dada bidang Shikamaru, melepas semua
ganjalan hatinya, memeluk erat seakan takut kehilangan orang yang sudah sah
menjadi suaminya itu.
“Aku juga pernah
merasakan seperti itu. Aku kehilangan guru Asuma, aku kehilangan ayah, dan
teman-teman lain di medan perang. Aku sakit, aku rapuh, aku merasa tak sanggup
untuk melakukan apapun. Tetapi aku yakin, aku tak sendiri menghadapi semua itu.
Aku masih memiliki orang-orang yang akan melengkapi aku, mengisi kekosongan di
hatiku akibat kehilangan orang berharga. Aku juga berusaha bertahan hidup,
untuk menyenangkan hati orang yang kuanggap berharga. Terutama kau, Temari.”
Shikamaru mengecup sayang puncak kepala Temari, seakan memberitahu kalau ia
sangat mencintainya. Temari melepas pelukannya. Tangan Shikamaru menghapus
cairan bening di mata istrinya.
“Mungkin kau sedang
merindukan ayah dan ibumu, atau Gaara dan Kankurou. Kau ingin menemui mereka?”
tanya Shikamaru. Temari kembali memandang bulan.
“Mungkin, entahlah
Shika. Aku hanya tidak ingin jauh dari orang-orang yang kusayang. Aku ingin
memastikan mereka baik-baik saja saat aku tidak bersama mereka,” lirih Temari.
Ia menyenderkan bahunya pada tubuh Shikamaru. Shikamaru memeluknya.
“Kau ingin pulang
ke Suna? Aku akan minta cuti pada Naruto untuk mengantarmu.”
“Tak perlu, aku tak
ingin merepotkanmu. Lagipula Shikadai belum memasuki masa liburan akademi, aku
tak ingin ia ketinggalan pelajaran. Besok aku akan mengirim surat saja pada
Gaara dan Kankurou,” Temari menyunggingkan senyum khasnya. Senyum yang selalu
membuat pria klan Nara itu tercengang, tunduk pada pesonanya.
“Jangan sedih lagi.
Aku selalu di sini, di sisimu,” Temari merasakan tangannya digenggam suaminya.
Ia menimpalinya dengan tangannya yang bebas, “Aku melengkapimu. Aku menemanimu
di saat kapanpun kau butuh aku. Aku mengisi kekosongan yang ada dalam hatimu.”
“Aku tahu,
Shikamaru. Begitu juga aku.”
Keduanya terdiam
beberapa saat. Menikmati angin yang masih setia menemani dua insan yang saling
mencintai ini. Merasakan hangatnya kasih sayang yang disalurkan melalui setiap
sentuhan.
“Hahaha. Jadi,
siapa yang sebenarnya bocah cengeng? Sepertinya istriku sudah berhasil
menggantikan posisiku dengan baik sekarang,” ledek Shikamaru. Temari
memanyunkan bibirnya.
“Tidak lucu,
Shikamaru. Dan selamanya kau akan jadi bocah cengeng yang tidak suka hal
merepotkan.” tukas Temari. Shikamaru mendengus. “Merepotkan.” Temari tertawa
kecil.
“Ya sudahlah, mari
kita tidur Shika. Besok kau bisa kesiangan kalau tidak tidur malam ini.” Temari
beranjak dari teras menuju futon, bersiap
tidur. Suasana hatinya jauh lebih baik kali ini berkat suaminya.
“Iya, iya, istri
merepotkan.” Shikamaru bergumam pelan, menyusul langkah istrinya.
Temari membaringkan
tubuhnya di samping Shikadai, tetapi Shikamaru menyuruhnya untuk tidur di
antara dirinya dan Shikadai. Temari tersenyum kecil.
“Terima kasih untuk
semuanya, Shikamaru,” bisiknya lembut sambil memeluk Shikamaru.
Shikamaru mencium
bibir istrinya dan membalas pelukannya erat sebagai jawaban.
Akhirnya manik
hijau yang indah itu tertutup, bersamaan dengan menghilangnya keresahan hatinya
yang mengganggu jam tidurnya. Senyum damai nan bahagia terukir di wajahnya, begitu
pula dengan pria yang memeluknya dalam tidurnya.
.
.
end
.
.
Gimaaans? Duh, sepertinya menurun, dan OOC juga *sejak kapan lu bikin fanfic karakternya IC dah?* oke okeee, gua harus kerja keras lagi selama liburan ini. Semangat lah! Kan udah balik lagi ke dunia lama, harus lebih ditekuni ya Tan~ *nyemangatin diri sendiri karena gaada yang nyemangatin* *sian amat si lu*
Nggeus lah, hayang sare. Bubye~
No comments:
Post a Comment